Rabu, 11 Januari 2012

PAPUA: Apakah Akan Ada Perdamaian di Papua?

Ditulis oleh :Santon Tekege
Kamis, 24 November 2011 21:38


REALITAS: Orang Papua tidak merasa aman dengan berbagai isu yang tidak bertanggung jawab. Orang Papua merasa cemas dan takut. Mereka tidak merasakan kehidupan yang aman dan damai sebagai warga negaranya. Mereka dicemaskan dan menakutkan oleh berbagai isu melalui Short Message (SMS Handphon) di Papua. Sementara orang asli Papua tidak merasakan peningkatan kesejahteraan. Mereka dapat mengalami ketidakadilan dalam pembangunan. Bahkan budaya perdamaian pun sirnah dari harapannya dan tidak pernah mengalami semercik perdamaian di Papua. Lantas: Dimanakah perdamaian yang diimpikan oleh orang asli Papua?

Ketidakseriusan Meningkatkan Kesejahteraan Bagi Orang Asli Papua

Pemberlakuan UU. No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Special Autonomy) selama 11 tahun tidak berhasil menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh orang asli Papua. Implementasi UU Otsus Papua hingga kini tidak dapat memperlihatkan keberhasilan dan kesejahteraan bagi orang asli Papua. Dalam tahun 2003, BPS Propinsi Papua melaporkan bahwa 80% dari 2.469.785 Penduduk Papua adalah penduduk miskin secara nasional.
Setelah beberapa tahun kemudian tahun 2007, BPS Propinsi Papua mengatakan bahwa 81,52% miskin di Papua. Kini data BPS Pusat (Indonesia) 2010 menunjukkan bahwa Propinsi Papua (37,53%) dari 2.851.999 jiwa penduduk Papua dan Papua Barat (35,71%) paling tinggi tingkat kemiskinan secara nasional dari seluruh Propinsi di Indonesia. Kedua Propinsi ini paling termiskin di seluruh Indonesia. Meskipun dana trilyun rupiah dikucurkan ke Propinsi Papua dan Papua Barat, orang asli Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan yang kaya raya akan sumber daya alamnya. Kita tidak bisa disangkal atas realita ini. Kita tidak boleh manipulasi kenyataan hidup bagi orang asli Papua di tanahnya sendiri. Memang orang asli Papua mengalami keterpurukan dan kemiskinan di tanahnya sendiri.

Kita mengakui bahwa pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam semakin meningkat di Papua. Orang asli Papua dengan segala kekayaan alam yang melimpah hanya menjadi objek dasar di negerinya sendiri. Keanekaragaman hayati dan non hayati yang berada diperut bumi Papua seperti tembaga, nikel dan emas serta kayu, ikan dan minyak telah dikeruk dan diambil oleh para penguasa. Semua kekayaan alam itu diambil hanya demi kepentingan para kapital. Semua hasil kekayaan di bumi Papua dibawah keluar Papua, sementara orang asli Papua di Papua dan Papua Barat penduduknya urutan pertama termiskin di Indonesia.
Kita dapat mencermati tidak adanya kesejahteraan para kaum buruh di PT. Freeport di Timika. Para kapital menjadikan para buruh sebagai “mesin” yang terus diputar secara rutin. Sementara upah yang didapat oleh para buruh karyawan PT. Freeport Indonesia sangat minim. Padahal manusia dalam dirinya itu memiliki martabat sebagai manusia yang baik adanya. Maka upah kaum buruh mesti diberikan secara manusiawi guna menjamin kesejahteraan keluarganya. Kesehatan jasmani mesti dijamin selayak-selayaknya oleh pihak perusahaan. Jika para kapital tidak memperhatikan hak mereka, sejauh itulah kesejahteraan para buruh tidak akan terwujud. Kesejahteraan kaum buruh merupakan tujuan utama yang mesti dibangun oleh perusahan dan pihak pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan para buruh karyawan. Pemerintah (pusat dan daerah) sangat diharapkan untuk memberdayakan orang asli Papua di negerinya sendiri. Bukan mengambil sumber daya alam yang melimpah untuk kepentingan belaka. Bukan tidak memberdayakan orang asli Papua. Pemberdayaan bagi orang asli Papua adalah tugas dan tanggung jawab Pemerintah (Pusat dan Daerah) dan semua pihak yang ada di Papua.
Selain kasus di atas, illegal Fishing di Kaimana Kabupaten Fak-Fak, Kasus Kelapa Sawit di Arso Kabupaten Keerom, Pembukaan MIFEE di Kabupaten Merauke dan Kasus bermasalah Pembukaan Pengolahan kebun kelapa sawit baru di sepanjang daratan Distrik Kokonau hingga ibu kota Kabupaten Timika. Selain itu, illegal Logging di kampung Ororodo Distrik Yaro Kabupaten Nabire dan Illegal Logging Distrik Bouwobado Kabupaten Deiyai melalui pintu masuk Distrik Mimika Barat Kokonau Kabupaten Timika. Papua sungguh diwarnai dengan Investasi yang tidak berakar pada orang asli Papua dan tidak berdampak keuntungan terhadap orang asli Papua. Semua kekayaan orang asli Papua hanya dimanfaatkan demi kepentingan para elit dan kapital Indonesia dan negara asing. Orang asli Papua hanya merasa bahwa di satu sisi sumber daya alam habis dan di bawa keluar Papua, tetapi di sisi lain peningkatan kaum transmigrasi ke Papua. Orang asli Papua sungguh sangat dilemantis bagaikan seekor udang kejepitan di tengah-tengah batu. Makanya orang asli Papua mengalami kehilangan hak-hak dasar, krisis nilai-nilai budaya akibat pengaruh luar dan kehilangan tempat-tempat sakral di Papua. Lebih jauh, mereka hanya berada dalam substansi kemiskinan dan keterpurukkan. Lantas: Di manakah kesejahteraan bagi orang asli Papua?

Padahal pemberlakuan Otsus oleh pemerintah pusat bagi Papua dengan tujuan untuk menjamin meningkatkan kesejahteraan, melindungi hak-hak dasar orang asli Papua dan memelihara nilai-nilai kultur serta melancarkan pembangunan. Namun, Pemerintah (Pusat dan daerah) tidak melaksanakan substansi dari amanat Otsus secara konsisten dan menyeluruh. Empat pilar amanat Otsus ini hanya sebuah wacana di publik agar dipercayai oleh negara lain yang mendukung implementasi UU Otsus bagi Propinsi Papua dan Papua Barat. Ketidakseriusan Pemerintah pusat dapat diperlihatkan setelah pengesahan UU. Otsus oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat dan Tengah tanpa pendekatan dengan pemerintah daerah Papua dan masyarakat asli Papua. Keputusan ini dibuat oleh Presiden yang sama tanpa menyadari melanggar UU Otsus Papua. Di zaman kepemimpinan Presiden SBY dapat meneruskan dan memaksakan pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat (Irjabar). Karena merasa gagal implementasi UU Otsus di Papua, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY dapat menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di Propinsi Papua dan Papua Barat (Baca Buku Dialog Jakarta-Papua Perspektif Papua). Instruksi Presiden (Inpres) ini menjadi peraturan Presiden SBY No.66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatakan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Kini berita ini sangat hangat diwacanakan di publik di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya. Masyarakat Papua menolak dengan paket Pemerintah Indonesia melalui UP4B di Papua dan Papua Barat.


Ketiadaan Damai bagi Orang Asli Papua

Kekerasan, konflik dan perang serta pembunuhan menjadi panenan rutinitas bagi orang asli di Papua. Padahal orang asli Papua adalah warga negara Indonesia. Orang asli Papua bukan warga asing. Bukan pula sebuah Negara. Orang asli Papua bukan warga imigran dari negara lain. Orang asli Papua adalah warga negara Indonesia yang dilindungi dengan cara damai. Pemerintah Indonesia bukan dapat meningkatkan hukum yang legal bagi orang asli Papua. Bukan pula menutupi ruang demokrasi dan kebebasan sebagai warga Indonesia. Jika negara Indonesia menghargai harkat dan martabat sebagai manusia melalui ruang demkorasi dan kebebasan pers, berpendapat dan berserikat, maka Indonesia menjadi negara yang sangat menghargai ruang demokrasi dan kebebasan sebagai warganya. Namun dalam realitanya tidak demikian karena warga negaranya tidak pernah merasakan kedamaian dan keadilan di Indonesia dan Papua pada khususnya. (bersambung)

sumber Bintang Papua

1 komentar:

siapa saja yang mengunjungi blog ini silakan menambahkan komentar demi pengembangan blog ini.